Kurikulum 2013 mengamanatkan pembelajaran dengan pendekatan Scientifik.
Pergantian kurikulum berapa kalipun
tidak akan bisa memperbaiki kualitas pendidikan jika tidak di barengi dengan
perubahan pola pikir atau midset pendidiknya, terutama dalam proses
pembelajaran. Maka dengan kurikulum 2013 ini hal yang paling urgen adalah
prubahan proses pembelajaran yang berbasis ilmiah.
Kurikulum 2013 mengamanatkan proses
pembelajaran dengan pendekatan ilmiah
atau scientifik, pendekatan ini wajib dilaksanakan untuk semua mata pelajaran
karena Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan
sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik.
Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria
ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan penalaran induktif (inductive
reasoning) ketimbang penalaran deduktif
(deductivereasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian
menarik simpulan yang spesifik.
Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah itu lebih efektif
hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradidional. Hasil penelitian
membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi dari guru
sebesar 10 persen setelah 15 menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada
pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar
lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar
50-70 persen.
Proses pembelajaran
dengan berbasis pendekatan
ilmiah harus dipandu dengan kaida-kaidah
pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan,
penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran.
Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu
nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah.
C. Langkah-langkah Pembelajaran dengan
Pendekatan Ilmiah
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua
jenjang dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan ilmiah. Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah,
ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta
didik tahu tentang ‘mengapa’. Ranah
keterampilan menggamit transformasi
substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘bagaimana’.
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam
pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam
pembelajaran semua mata pelajaran meliputi
menggali informasi melalui pengamatan,
bertanya, percobaan, kemudian
mengolah data atau informasi,
menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar,
kemudian menyimpulkan, dan mencipta.
Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi
tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat
diaplikasikan secara prosedural.
1. Mengamati ( Observing )
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran
(meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek
secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya.
Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan
waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika
tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin
tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang
tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada
hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan
oleh guru.
Kegiatan mengamati
dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut
ini.
• Menentukan objek apa yang akan diobservasi
• Membuat pedoman observasi sesuai dengan
lingkup objek yang akan diobservasi
• Menentukan secara jelas
data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun
sekunder
• Menentukan di mana tempat objek yang akan
diobservasi
• Menentukan secara jelas bagaimana observasi
akan dilakukan untuk mengumpulkan
data agar berjalan mudah dan lancar
• Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas
hasil observasi , seperti
menggunakan buku
catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi
dalam proses pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara
langsung. Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta
didik dalam observasi tersebut.
• Observasi biasa (common observation). Pada
observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek
yang sepenuhnya melakukan observasi (complete observer). Di sini peserta didik
sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang
diamati.
·
Observasi terkendali (controlled
observation). Seperti halnya observasi biasa, pada observasi
terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali tidak melibatkan
diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Mereka juga tidak memiliki
hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Namun demikian,
berbeda dengan observasi biasa, pada observasi terkendali pelaku atau objek yang diamati ditempatkan pada ruang atau situasi
yang dikhususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan observasi terkendali
termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen
atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
·
Observasi partisipatif (participant
observation). Pada
observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan
pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim
dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam ini mengharuskan peserta
didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang diamati. Di
bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan pendekatan ini berarti
peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat subjek atau komunitas
tertentu dan pada waktu tertentu pula
untuk mempelajari bahasa atau dialek
setempat, termasuk melibakan diri secara langsung dalam situasi kehidupan
mereka.
Selama proses pembelajaran, peserta
didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara pelibatan dimaksud yaitu observasi berstruktur dan observasi
tidak berstruktur, seperti dijelaskan berikut ini.
·
Observasi berstruktur. Pada
observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek,
atau situasi apa yang ingin diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan
oleh secara sistematis di bawah bimbingan guru.
·
Observasi tidak berstruktur. Pada observasi yang tidak
berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau
rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka
ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara
spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran
hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan dengan
alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti: (1) tape recorder, untuk
merekam pembicaraan; (2) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara
visual; (3) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara
audio-visual; dan (4) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau
instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek
(checklist), skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan berkala, dan alat mekanikal
(mechanical device). Daftar cek dapat berupa suatu daftar yang berisikan
nama-nama subjek, objek, atau faktor-
faktor yang akan diobservasi. Skala rentang , berupa alat untuk mencatat
gejala atau fenomena menurut tingkatannya. Catatan anekdotal berupa catatan
yang dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang
ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi. Alat mekanikal berupa alat mekanik yang dapat
dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa tertentu yang
ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-rinsip yang harus
diperhatikan oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran disajikan
berikut ini.
o
Cermat,
objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran.
o
Banyak
atau sedikit serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang
diobservasi. Makin banyak dan hiterogen subjek, objek, atau situasi yang diobservasi,
makin sulit kegiatan obervasi itu
dilakukan. Sebelum obsevasi dilaksanakan, guru dan peserta didik
sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
o
Guru
dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas
perolehan observasi.
2. Menanya
Guru yang efektif mampu menginspirasi
peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan,
dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing
atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab
pertanyaan peserta didiknya, ketika
itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang
baik.
Berbeda dengan penugasan yang
menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan
verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan
juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan,
misalnya: Apakah ciri-ciri kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya:
Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif!
a. Fungsi bertanya
•
Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik
pembelajaran.
•
Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta
mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri.
•
Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan
ancangan untuk mencari solusinya.
•
Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi
pembelajaran yang diberikan.
•
Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan
pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan
bahasa yang baik dan benar.
•
Mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen,
mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan.
•
Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat
atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam
hidup berkelompok.
•
Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam
merespon persoalan yang tiba-tiba muncul.
•
Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati
satu sama lain.
b.
Kriteria pertanyaan yang baik
•
Singkat dan jelas.
Contoh: (1) Seberapa jauh pemahaman Anda mengenai
faktor-faktor yang menyebabkan generasi muda terjerat kasus narkotika dan
obat-obatan terlarang? (2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan generasi muda
terjerat kasus narkotika dan obat-obatan terlarang? Pertanyaan kedua lebih singkat dan lebih
jelas dibandingkan dengan pertanyaan pertama.
•
Menginspirasi jawaban.
Contoh: Membangun semangat kerukunan
umat beragama itu sangat penting pada bangsa yang multiagama. Jika suatu bangsa
gagal membangun semangat kerukukan beragama, akan muncul aneka persoalan sosial
kemasyarakatan. Coba jelaskan dampak sosial apa saja yang muncul, jika suatu bangsa
gagal membangun kerukunan umat beragama? Dua kalimat yang mengawali pertanyaan
di muka merupakan contoh yang diberikan guru untuk menginspirasi jawaban
peserta menjawab pertanyaan.
•
Memiliki fokus.
Contoh: Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
terjadinya kemiskinan? Untuk pertanyaan
seperti ini sebaiknya masing-masing peserta didik diminta memunculkan satu
jawaban. Peserta didik pertama hingga kelima misalnya menjawab: kebodohan, kemalasan,
tidak memiliki modal usaha, kelangkaan sumber daya alam, dan keterisolasian geografis. Jika
masih tersedia alternatif jawaban lain, peserta didik yang keenam dan
seterusnya, bisa dimintai jawaban. Pertanyaan
yang luas seperti di atas dapat dipersempit, misalnya: Mengapa kemalasan menjadi penyebab
kemiskinan? Pertanyaan seperti ini dimintakan jawabannya kepada peserta didik
secara perorangan.
Bersifat probing atau divergen.
Contoh: (1) Untuk meningkatkan
kualitas hasil belajar, apakah peserta didik harus rajin belajar?(2) Mengapa
peserta didik yang sangat malas belajar cenderung menjadi putus sekolah?
Pertanyaan pertama cukup dijawab oleh
peserta didik dengan Ya atau Tidak. Sebaliknya, pertanyaan kedua
menuntut jawaban yang bervariasi urutan jawaban dan penjelasannya, yang
kemungkinan memiliki bobot kebenaran yang sama.
Bersifat validatif atau penguatan.
Pertanyaan dapat diajukan dengan cara
meminta kepada peserta didik yang
berbeda untuk menjawab pertanyaan yang sama. Jawaban atas pertanyaan itu dimaksudkan untuk memvalidsi atau melakukan
penguatan atas jawaban peserta didik sebelumnya. Ketika beberapa orang peserta
didik telah memberikan jawaban yang sama, sebaiknya guru menghentikan
pertanyaan itu atau meminta mereka memunculkan jawaban yang lain yang berbeda,
namun sifatnya menguatkan.
Contoh:
o
Guru: “mengapa kemalasan menjadi penyebab kemiskinan”?
o
Peserta didik I: “karena orang yang malas lebih banyak diam ketimbang
bekerja.”
o
Guru: “siapa yang dapat melengkapi jawaban tersebut?”
o
Peserta didik II: “karena lebih banyak diam ketimbang bekerja, orang
yang malas
tidak produktif”
o
Guru : “siapa yang dapat
melengkapi jawaban tersebut?”
o
Peserta didik III: “orang malas tidak bertindak aktif, sehingga
kehilangan waktu
terlalu banyak untuk bekerja, karena
itu dia tidak produktif.”
Memberi kesempatan peserta didik
untuk berpikir ulang.
Untuk menjawab pertanyaan dari guru,
peserta didik memerlukan waktu yang cukup
untuk memikirkan jawabannya dan memverbalkannya
dengan kata-kata. Karena itu, setelah mengajukan pertanyaan, guru hendaknya menunggu beberapa saat
sebelum
meminta atau menunjuk peserta didik
untuk menjawab pertanyaan itu.
Jika dengan pertanyaan tertentu tidak
ada peserta didik yang bisa menjawah dengan baik, sangat dianjurkan guru
mengubah pertanyaannya. Misalnya: (1) Apa faktor picu utama Belanda menjajah
Indonesia?; (2) Apa motif utama Belanda menjajah Indonesia? Jika dengan
pertanyaan pertama guru belum memperoleh jawaban yang memuaskan, ada baiknya
dia mengubah pertanyaan seperti pertanyaan kedua.
Merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif.
Pertanyaan guru yang baik membuka
peluang peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang makin
meningkat, sesuai dengan tuntunan tingkat kognitifnya. Guru mengemas atau
mengubah pertanyaan yang menuntut jawaban dengan tingkat kognitif rendah ke
makin tinggi, seperti dari sekadar mengingat fakta ke pertanyaan yang menggugah
kemampuan kognitif yang lebih tinggi,
seperti pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kata-kata kunci
pertanyaan ini, seperti: apa, mengapa, bagaimana, dan seterusnya.
Merangsang proses interaksi.
Pertanyaan guru yang baik mendorong munculnya
interaksi dan suasana menyenangkan pada diri peserta didik. Dalam kaitan ini,
setelah menyampaikan pertanyaan, guru memberikan kesempatan kepada peserta
didik mendiskusikan jawabannya. Setelah
itu, guru memberi kesempatan kepada seorang atau beberapa orang peserta didik
diminta menyampaikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Pola bertanya seperti
ini memposisikan guru sebagai wahana pemantul.
c. Tingkatan Pertanyaan
Pertanyaan guru yang baik dan benar
menginspirasi peserta didik untuk memberikan jawaban yang baik dan benar pula.
Guru harus memahami kualitas pertanyaan, sehingga menggambarkan tingkatan
kognitif seperti apa yang akan disentuh, mulai dari yang lebih rendah hingga
yang lebih tinggi. Bobot pertanyaan yang menggambarkan tingkatan kognitif yang
lebih rendah hingga yang lebih tinggi disajikan berikut ini.
Tingkatan
|
Sub tingkatan
|
Kata-kata
kunci pertanyaan
|
Kognitif
yang
lebih
rendah
|
Pengetahuan
(knowledge)
|
Apa...
Siapa...
Kapan...
Di mana...
Sebutkan...
Jodohkan atau
Persamaan kat
Golongkan...
Berilah nama..
Dll.
|
|
Pemahaman
(comprehension)
|
Terangkahlah...
Bedakanlah...
Terjemahkanlah...
Simpulkan...
Bandingkan...
Ubahlah...
Berikanlah
interpretasi...
|
|
Penerapan
(application
|
Gunakanlah...
Tunjukkanlah...
Buatlah...
Demonstrasikanlah...
Carilah hubungan...
Tulislah contoh...
Siapkanlah...
Klasifikasikanlah...
|
Kognitif
yang
lebih
tinggi
|
Analisis
(analysis)
|
Analisislah...
Kemukakan
bukti-bukti…
Mengapa…
Identifikasikan…
Tunjukkanlah
sebabnya…
Berilah
alasan-alasan…
|
|
Sintesis
(synthesis)
|
Ramalkanlah…
Bentuk…
Ciptakanlah…
Susunlah…
Rancanglah...
Tulislah…
Bagaimana kita dapat
memecahkan…
Apa yang terjadi
seaindainya…
Bagaimana kita dapat
memperbaiki…
Kembangkan…
|
|
Evaluasi
(evaluation)
|
Berilah pendapat…
§ Alternatif mana
yang lebih baik…
§ Setujukah anda…
§ Kritiklah…
§ Berilah alasan…
§ Nilailah…
§ Bandingkan…
§ Bedakanlah…
|
3. Menalar
a. Esensi Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka
proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013
untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik
tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada
guru. Penalaran adalah proses berfikir
yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk
memperoleh simpulan berupa pengetahuan.
Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah
tidak selalu tidak bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan
padanan dari associating; bukan
merupakan terjemanan dari reasonsing,
meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas
menalar dalam konteks pembelajaran pada
Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori
belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam
pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide danmengasosiasikan
beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori. Selama
mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi
dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan dimemori otak
berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia.
Proses itu dikenal sebagai asosiasi
atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi merujukpada koneksi antara
entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan
waktu.
Menurut teori asosiasi, proses
pembelajaran pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi
langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui
stimulus dan respons (S-R). Teori ini
dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal
dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh
Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon
(S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar
peserta didik terjadi secara perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara
tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
Hukum efek (The Law of Effect), di
mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan
respon (R) selama proses pembelajaran
sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Jika akibat
dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan
mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-
R dirasa tidak menyenangkan, maka
perilaku peserta didik akan melemah. Menurut Thorndike, efek dari reward
(akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta
didik dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam
memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku
peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan
perilakunya.
Hukum latihan (The Law of Exercise).
Awalnya, hukum ini terdiri dari dua jenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan
dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat
memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara
S-R akan semakin kuat jika sering
digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R
akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang. Menurut
Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement).
Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah
individu menyadari konsekuensi perilakunya.
Hukum kesiapan (The Law of
Readiness). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah
sesuatu itu akan menyenangkan atau
tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar
individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta
dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa puas.
Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa
dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi.
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dala,
Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah
bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan
perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi.
Merujuk pada teori S-R, proses
pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan
begitu, berarti makin tinggi pula
kemampuannya dalam
menghubungkan S dengan R. Kaidah
dasar yang digunakan dalam teori S-R adalah:
•
Kesiapan (readiness). Kesiapan
diidentifikasi berkaitan langsung dengan motivasi peserta didik.
Kesiapan itu harus ada pada diri guru dan
peserta didik. Guru harus benar-benar siap mengajar dan peserta didik
benar-benar siap menerima pelajaran dari gurunya. Sejalan dengan itu, segala
sumber daya pembelajaran pun perlu disiapkan secara baik dan saksama.
•
Latihan (exercise). Latihan merupakan kegiatan pembelajaran yang
dilakukan secara berulang oleh peserta didik. Pengulangan ini memungkinkan
hubungan antara S dengan R makin intensif dan ekstensif.
•
Pengaruh (effect). Hubungan yang intensif dan berulang-ulang antara S dengan
akan
meningkatkan kualitas ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuan peserta didik sebagai hasil belajarnya. Manfaat
hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik dirasakan langsung oleh mereka
dalam dalam dunia kehidupannya.
Kaidah atau prinsip “pengaruh” dalam
pembelajaran berkaitan dengan kemamouan gurumenciptakan suasana, memberi
penghargaan, celaan, hukuman, dan ganjaran. Teori S – Sini memang terkesan
robotik. Karenanya, teori ini terkesan mengenyampingkan peranan minat,
kreativitas, dan apirasi peserta didik.
•
Oleh karena tidak semua perilaku belajar atau pembelajaran dapat
dijelaskan dengan pelaziman sebagaimana dikembangkan oleh Ivan Pavlov, teori asosiasi biasanya menambahkan
teori belajar sosial (social learning) yang dikembangkan oleh Bandura. Menurut
Bandura, belajar terjadi karena proses peniruan (imitation). Kemampuan peserta
didik dalam meniru respons menjadi pengungkit utama aktivitas belajarnya.
Ada empat konsep dasar teori belajar
sosial (social learning theory) dari Bandura.
•
Pertama, pemodelan (modelling), dimana peserta didik belajar dengan cara
meniru perilaku orang lain (guru, teman, anggota masyarakat, dan lain-lain) dan
pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain
itu.
•
Kedua, fase belajar, meliputi fase memberi perhatian terhadap model (attentional), mengendapkan
hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention), menampilkan
ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction), dan motivasi (motivation)
ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan
konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan.
·
Ketiga,
belajar vicarious, dimana peserta didik belajar dengan melihat apakah orang lain
diberi ganjaran atau hukuman selama terlibat dalam perilaku-perilaku
tertentu.
·
Keempat,
pengaturan-diri (self-regulation), dimana peserta didik mengamati,
mempertimbangkan, memberi ganjaran
atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
Teori asosiasi ini sangat efektif
menjadi landasan menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada
peserta didik berkenaan dengan
nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif. Dengan cara ini peserta
didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang nyata diobservasinya dari
kinerja guru dan temannya di kelas.
Bagaimana aplikasinya dalam proses
pembelajaran? Aplikasi pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan
daya menalar peserta didik dapat dilakukan dengan cara berikut ini.
•
Guru menyusun bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah siap sesuai
dengan
tuntutan kurikulum.
•
Guru tidak banyak menerapkan metode ceramah atau metode kuliah. Tugas
utama
guru adalah memberi instruksi singkat
tapi jelas dengan disertai contoh-contoh, baik dilakukan sendiri maupun dengan
cara simulasi.
•
Bahan pembelajaran disusun secara berjenjang atau hierarkis, dimulai
dari yang sederhana (persyaratan rendah) sampai pada yang kompleks (persyaratan
tinggi).
•
Kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan
diamati
•
Seriap kesalahan harus segera dikoreksi atau diperbaiki
•
Perlu dilakukan pengulangan dan latihan agar perilaku yang diinginkan
dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
•
Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang nyata atau autentik.
•
Guru mencatat semua kemajuan peserta didik untuk kemungkinan memberikan tindakan
pembelajaran perbaikan.
b. Cara menalar
Seperti telah dijelaskan di muka,
terdapat dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran
deduktif. Penalaran induktif merupakan
cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus
untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses
penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau
spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif
lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik.
Contoh:
•
Singa binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
•
Harimau binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
•
Ikan Paus binatang berdaun telinga berkembangbiak dengan melahirkan
•
Simpulan: Semua binatang yang berdaun telinga berkembang biak dengan
melahirkan Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan
dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal
yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme.
Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih
dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Ada tiga jenis silogisme, yaitu
silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada penalaran
deduktif tedapat premis, sebagai proposisi menarik simpulan. Penarikan simpulan
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu
langsung dan tidak langsung. Simpulan secara langsung ditarik dari satu
premis, sedangkan simpulan tidak langsung ditarik dari dua premis.
Contoh :
•
Kamera adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk
beroperasi
•
Telepon genggam adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik
untuk
beroperas.
•
Simpulan: semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk
beroperasi.
4.
Analogi dalam Pembelajaran
Selama proses pembelajaran, guru dan
pesert didik sering kali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki
persamaan. Dengan demikian, guru dan peserta didik adakala mua menalar secara
analogis. Analogi adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan
sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan.
Berpikir analogis sangat penting
dalam pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik.
Seperti halnya penalaran, analogi terdiri dari dua jenis, yaitu analogi
induktif dan analogi deduktif. Kedua analogi itu dijelaskan berikut ini.
Analogi induktif disusun berdasarkan
persamaan yang ada pada dua fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua
gejala atau fenomena itu ditarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau
gejala pertama terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua. Analogi induktif merupakan
suatu ‘metode menalar’ yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu
simpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat
pada dua fenomena atau gejala khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Peserta didik Pulan merupakan
pebelajar yang tekun. Dia lulus seleksi Olimpiade Sains Tingkat Nasional tahun
ini. Dengan demikian, tahun ini juga, Peserta didik Pulan akan mengikuti
kompetisi pada Olimpiade Sains Tingkat Internasional. Untuk itu dia harus
belajar lebih tekun lagi.
Analogi deklaratif merupakan
suatu ‘metode menalar’ untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu
fenomena atau gejala yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang
sudah dikenal. Analogi deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru,
fenomena, atau gejala menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan
dengan hal-hal yang sudah dketahui secara nyata dan dipercayai.
Contoh:
Kegiatan kepeserta didikan akan
berjalan baik jika terjadi sinergitas kerja antara kepala sekolah, guru, staf
tatalaksana, pengurus organisasi peserta didik intra sekolah, dan peserta
didik. Seperti halnya kegiatan belajar, untuk mewujudkan hasil yang baik diperlukan
sinergitas antara ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
5.
Hubungan Antarfenonena
Seperti halnya penalaran dan analogi,
kemampuan menghubungkan antarfenomena atau gejala sangat penting dalam proses
pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di
sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan antarfenonena
atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat.
Hubungan sebab-akibat diambil dengan
menghubungkan satu atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa
fakta yang lain. Suatu simpulan yang menjadi sebab dari satu atau beberapa
fakta itu atau dapat juga menjadi akibat dari satu atau beberapa fakta
tersebut.
Penalaran sebab-akibat ini masuk
dalam ranah penalaran induktif, yang disebut dengan penalaran induktif
sebab-akibat. Penalaran induksi sebab akibat terdiri dri tiga jenis.
•
Hubungan sebab–akibat. Pada penalaran hubungan sebab-akibat, hal-hal
yang menjadi sebab dikemukakan terlebih dahulu, kemudian ditarik simpulan yang
berupa akibat.
Contoh:
Bekerja keras, belajar tekun, berdoa, dan tidak putus asa adalah faktor
pengungkit yang bisa membuat kita
mencapai puncak kesuksesan.
•
Hubungan akibat–sebab. Pada penalaran hubungan akibat-sebab, hal-hal
yang menjadi akibat dikemukakan terlebih dahulu, selanjutnya ditarik simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh :
Akhir-ahir ini sangat marak kenakalan remaja, angka putus sekolah,
penyalahgunaan
Nakoba di kalangan generasi muda, perkelahian antarpeserta didik, yang
disebabkan oleh pengabaian orang tua dan ketidaan keteladanan tokoh masyarakat,
sehingga mengalami dekandensi moral secara massal.
•
Hubungan sebab–akibat 1 – akibat 2. Pada penalaran hubungan sbab-akibat
1 –akibat 2, suatu penyebab dapat
menimbulkan serangkaian akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab, sehingga
menimbulkan akibat kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga menimbulkan
akibat ketiga, dan seterusnya.
Contoh:
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, hidupnya terisolasi. Keterisolasian
itu
menyebabkan mereka kehilangan
akses untuk melakukan aktivitas ekonomi, sehingga
muncullah kemiskinan keluarga yang akut. Kemiskinan keluarga yang akut
menyebabkan anak-anak mereka tidak berkesempatan menempuh pendidikan yang baik.
Dampak lanjutannya, bukan tidak mungkin terjadi kemiskinan yang terus
berlangsung secara siklikal.
6. Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang
nyata atau autentik, peserta didik harus
mencoba ataumelakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang
sesuai. Pada mata pelajaranIPA, misalnya, peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan
kaitannya dengankehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki
keterampilan proses untukmengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu
menggunakan metode ilmiahdan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau
mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu
sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk
ini adalah: (1) menentukan tema atau
topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2)
mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus
disediakan; (3) mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil
eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat
fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; (6) menarik simpulan
atas hasil percobaan; dan (7) membuat
laporan dan mengkomunikasikan hasil
percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat
berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga
akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang
dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan
kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah yang
akan yang akan dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid (7)
Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan
hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara
klasikal. Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan eksperimen atau mencoba
dilakukan melalui tiga tahap, yaitu, persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut.
Ketiga tahapan eksperimen atau mencoba dimaksud dijelaskan berikut ini.
a.
Persiapan
•
Menentapkan tujuan eksperimen
•
Mempersiapkan alat atau bahan
•
Mempersiapkan tempat eksperimen
sesuai dengan jumlah peserta didikserta alat atau bahan yang tersedia. Di sini guru perlu menimbang apakah
peserta didik akan melaksanakan
eksperimen atau mencoba secara serentak atau dibagi menjadi beberapa
kelompok secara paralel atau bergiliran
•
Memertimbangkanmasalah keamanan
dan kesehatan agar dapat memperkecil atau
menghindari risiko yang mungkin
timbul
•
Memberikan penjelasan mengenai apa yang harus diperhatikan dan
tahapa-tahapan yang harus dilakukan
peserta didik, termasuk hal-hal
yang dilarang atau membahayakan.
b. Pelaksanaan
•
Selama proses eksperimen atau mencoba, guru ikut membimbing dan mengamati proses
percobaan. Di sini guru harus memberikan dorongan dan bantuan terhadap kesulitan-kesulitan
yang dihadapi oleh peserta didik agar kegiatan itu berhasil dengan
baik.
•
Selama proses eksperimen
atau mencoba, guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan,
termasuk membantu mengatasi dan
memecahkan masalah-masalah yang akan menghambat kegiatan pembelajaran.
c. Tindak lanjut
a.
Peserta didik mengumpulkan laporan hasil eksperimen kepada guru
b.
Guru memeriksa hasil eksperimen peserta didik
c.
Guru memberikan umpan balik kepada peserta didik atas hasil eksperimen.
d.
Guru dan peserta didik mendiskusikan masalah-masalah yang ditemukan
selama
eksperimen.
e.
Guru dan peserta didik memeriksa dan menyimpan kembali segala bahan dan
alat
yang digunakan
D. Jejaring Pembelajaran atau
Pembelajaran Kolaboratif
Apa yang dimaksud dengan pembelajaran
kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih
dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya
merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai
kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja
rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif
kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar,
sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai
satu falsafah pribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik
terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam
situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara
semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi
aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.
Hasil penelitian Vygotsky membuktikan bahwa ketika peserta didik diberi tugas untuk
dirinya sediri, mereka akan bekerja sebaik-baiknya ketika bekerjasama atau
berkolaborasi dengan temannya. Vigotsky
merupakan salah satu penggagas teori konstruktivisme sosial. Pakar ini sangat terkenal
dengan teori “Zone of Proximal Development” atau ZPD. Istilah ”Proximal” yang digunakan di sini bisa
bermakna “next“. Menurut
Vygotsky, setiap manusia (dalam konteks
ini disebut peserta didik) mempunyai potensi tertentu. Potensi tersebut dapat
teraktualisasi dengan cara menerapkan ketuntasan belajar (mastery learning).
Akan tetapi di antara potensi dan
aktualisasi peserta didik itu
terdapat terdapat wilayah abu-abu. Guru
memiliki berkewajiban menjadikan wilayah “abu-abu” yang ada pada peserta didik
itu dapat teraktualisasi dengan cara belajar kelompok.
Seperti termuat dalam gambar,
Vygostsky mengemukakan tiga wilayah yang
tergamit dalam ZPD yang disebut dengan “cannot yet do”, “can do with help“, dan
“can do alone“. ZPD merupakan wilayah “can do with help” yang sifatnya tidak permanen, jika proses
pembelajaran mampu menarik pebelajar dari zona tersebut dengan cara kolaborasi
atau pembelajaran kolaboratif.
Ada empat sifat kelas atau
pembelajaran kolaboratif. Dua sifat
berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta didik. Sifat
ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama proses
pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas atau pembelajaran kolaboratif.
1. Guru dan peserta didik saling
berbagi informasi.
Dengan pembelajaran kolaboratif, peserta didik memiliki ruang gerak untuk
menilai dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi,
strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi
sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru lebih banyak
sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan
mengawasi secara rijid.
Contoh:
Jika guru mengajarkan topik “hidup
bersama secara damai.” Peserta didik yang mempunyai pengalaman yang berkaitan
dengan topik tersebut berpeluang menyatakan sesuatu pada sesi pembelajaran,
berbagi idea, dan memberi garis-garis besar
arus komunikasi antar peserta didik.
Jika peserta didikmemahami dan
melihat fenomena nyata kehidupan bersama yang damai itu, pengalaman dan
pengetahuannya dihargai dan dapat dibagikan dalam jaringan pembelajaran mereka. Mereka pun akan termotivasi untuk melihat dan
mendengar. Di sini peserta didik juga dapat merumuskan kaitan antara proses
pembelajaran yang sedang dilakukan dengan dunia sebenarnya.
2.
Berbagi tugas dan kewenangan.
Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan
kewenangan dengan peserta
didik, khususnya untuk hal-hal
tertentu. Cara ini memungkinan peserta didik menimba
pengalaman mereka sendiri, berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesa,
mendoorong tumbuhnya ide-ide cerdas,
terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan
mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
•
Guru sebagai mediator.
Pada pembelajaran atau kelas
kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu menghubungkan
informasi baru dengan pengalaman yang
ada serta membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuan
dan bersedia menunjukkan cara
bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk belajar.
•
Kelompok peserta didik yang heterogen.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan
berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didik dapat
menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi, serta mendengar
atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti
ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
Contoh Pembelajaran Kolaboratif
Guru ingin mengajarkan tentang
konsep, penggolongan sifat, fakta, atau mengulangi informasi tentang objek.
Untuk keperluan pembelajaran ini dia menggunakan media sortir kartu (card
sort). Prosedurnya dapat dilakukan seperti
berikut ini.
•
Kepada peserta didik diberikan kartu
indeks yang memuat informasi atau conto yang cocok dengan satu atau
lebih katagori.
•
Peserta didik diminta untuk mencari temannya dan menemukan orang yang
memiliki kartu dengan katagori yang sama.
•
Berikan kepada peserta didik yang kartu katagorinya sama menyajikan
sendiri kepada rekanhya.
•
Selama masing-masing katagori dipresentasikan oleh peserta didik,
buatlah catatan dengan kata kunci
(point) dari pembelajaran tersebut yang dirasakan penting.
3. Macam-macam Pembelajaran
Kolaboratif
Banyak merode yang dipakai dalam
pembelajaran atau kelas kolaboratif. Beberapa di antaranya dijelaskan berikut
ini.
• JP = Jigsaw Proscedure.
Pembelajaran dilakukan dengan cara
peserta didik sebagai anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda
mengenai suatu pokok bahasan. Agar masing-masing peserta didik anggota dapat
memahami keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh.
Penilaian didasari pada rata-rata skor
tes kelompok.
•
STAD = Student Team Achievement
Divisions.
Peserta didik dalam suatu kelas
dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok
bertindak saling membelajarkan. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan
berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok
akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu peserta didik lainnya.
Penilaian didasari pada pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok
peserta didik.
• CI = Complex Instruction.
Titik tekan metode ini adalam pelaksanaan suatu proyek yang
berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika, dan ilmu
pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua
peserta didik sebagai anggota kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini
umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua
bahasa) dan di antara para peserta didik yang sangat heterogen.
Penilaian didasari pada proses dan
hasil kerja kelompok.
TAI = Team Accelerated Instruction.
Metode ini merupakan kombinasi antara
pembelajaran kooperatif/kolaboratif dengan
pembelajaran individual. Secara
bertahap, setiap peserta didik sebagai anggota kelompok diberi soal-soal yang
harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian
bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar,
setiap peserta didik mengerjakan soal-soal berikutnya. Namun jika seorang
pesertadidik belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia
harus menyelesaikansoal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun
berdasarkan tingkat kesukaransoal. Penilaian didasari pada hasil belajar
individual maupun kelompok.
•
CLS = Cooperative Learning
Stuctures.
Pada penerapan metode pembelajaran
ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua peserta didik (berpasangan).
Seorang peserta didik bertindak sebagai
tutor dan yang lain menjadi tutee.
Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia
memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu
yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua peserta didik yang saling
berpasangan itu berganti peran.
• LT = Learning Together
Pada metode ini kelompok-kelompok sekelas
beranggotakan peserta didik yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok
bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok
hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada
hasil kerja kelompok.
• TGT =
Teams-Games-Tournament.
Pada metode ini, setelah belajar
bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu
kelompok akan berlomba dengan anggota
kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian didasari
pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok peserta didik.
• GI = Group Investigation.
Pada metode ini semua anggota
kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan
pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan
dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan
penyajiannya di depan forum kelas.
Penilaian didasari pada proses dan hasil kerja kelompok.
•
AC = Academic-Constructive
Controversy.
Pada metode ini setiap anggota
kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual
yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota
sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini
mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran
kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan.
Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan
posisi yang dipilihnya.
• CIRC = Cooperative Integrated Reading
and Composition.
Pada metode pembelajaran ini mirip
dengan TAI. Metode pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis
dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para peserta didik saling menilai
kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan
di dalam kelompoknya.
a. Pemanfaatan Internet
Pemanfaatan internet sangat
dianjurkan dalam pembelajaran atau kelas kolaboratif. Karena memang, internet merupakan salah satu
jejaring pembelajaran dengan akses dan ketersediaan informasi yang luas dan
mudah. Saat ini internet telah
menyediakan diri sebagai referensi yang murah dan mudah bagi peserta didik atau
siapa saja yang hendak mengubah wajah dunia.
Penggunaan internet disarankan makin
mendesak sejalan dengan perkembangan pengetahuan terjadi secara eksponensial.
Masa depan adalah milik peserta didik yang memiliki akses hampir ke seluruh
informasi tanpa batas dan mereka yang mampu memanfaatkan informasi diterima secepat
mungkin.
Daftar Pustaka
Allen, L. (1973). An examination of
the ability of third grade children from the Science
Curriculum Improvement Study to
identify experimental variables and to recognize
change. Science Education, 57, 123-151.
Padilla, M., Cronin, L., &
Twiest, M. (1985). The development and validation of the test of basic process
skills. Paper presented at the annual meeting of the National
Association for Research in Science
Teaching, French Lick, IN.
Quinn, M., & George, K. D.
(1975). Teaching hypothesis formation. Science
Education, 59, 289-296.Science
Education, 62, 215-221.
Thiel, R., & George, D. K. (1976). Some
factors affecting the use of the science process skill of prediction by
elementary school children. Journal of Research in Science
Teaching, 13,
155-166.
Tomera, A. (1974). Transfer and
retention of transfer of the science processes of
observation and comparison in junior
high school students. Science Education,
58,
195-203.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar